Pontang Daerah Ex-Kolonial : Antara Fakta dan Cerita_Kangubay

Pontang Daerah Ex-Kolonial : Antara Fakta dan Cerita

Oleh : Ubay Haki

Dosen Universitas Bina Bangsa

            Berusaha untuk memahami sebuah entitas kehidupan masa lampau, salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan kajian sejarah. Maka dalam hal ini sejarah adalah istilah yang tentunya harus dipahami setiap orang. Definisi dari sejarah, unsur-unsurnya, fungsinya, hingga pembagian ilmunya perlu kamu kenali. Hal ini dapat menjadi pembelajaran dalam menjalani hidup. Sederhananya, sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lalu. Dalam hal ini, istilah sejarah sangat berkaitan dengan dua hal, yaitu peristiwa dan waktu.  Para ahli sejarah membuat periodisasi untuk mengatasi masalah pentingnya waktu dalam rekonstruksi sejarah.

         Pontang sebuah desa di Kabupaten Serang yang punya kisah menakjubkan yang jarang diceritakan dengan baik sesuai dengan fakta sejarah, Pontang tidak terlepas dari leluhur pendiri Kerajaan Banten, dari Prabu Pucuk Umun Penguasa Banten Girang, sampai kemudian adiknya Kawunghanten dinikahi Sunan Gunung Djati—yang melahirkan keturunan Sabakingking kemudian menjadi penguasa Kerajaan Islam Banten dengan sebutan Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Raja pertama Banten ini akan melahirkan para keturunan yang akan membawa Banten masyhur di dunia internasional, Sejarah pun dimulai. Diantara hal pertama yang di catat sejarah adalah pendirian kerajaan dan ibu kota kerajaan, pandangan sultan memang visioner, raja peletak fondasi Islam di Banten begitu melegenda sebagai pendiri kerajaan Banten atas restu ayahnya Sunan Gunung Djati, memilih membangun kota nya di daerah pantai berbeda dengan pamannya Pucuk Umun yang memilih membangun kotanya di tepi  sungai Cibanten.

            Dalam Hikayat Hasanoeddien berbahasa Melayu Kuno yang berkisah tentang perjalanan Sultan Hasanuddin yang memerintah kurun waktu (1552-1570). Perpindahan pusat kekuasaan Banten Girang ke Surosowan , karena daerah ini adalah daerah pantai secara ekonomi, daerah pantai lebih berpotensi untuk mengembangkan pelayaran dan perdagangan yang pada masa sebelumnya sudah berjalan. Pengawasan dari Surosowan terhadap berbagai kegiatan yang terjadi di perairan pelabuhan tentunya lebih mudah bila dibandingkan dengan daerah pedalaman. Kedatangan bermacam komoditas dari berbagai daerah dan manca negara yang akan diperjualbelikan di Banten, lebih cepat tersebar karena para pedagang dapat langsung memperdagangkannya setiba di pelabuhan. (Heriyanti Ongkodharma Ontoro, 2007;30).

Arya Sunyaraja Buka Pemukiman di Pontang

Sultan Maulana Yusuf (1570-1580) sebagai penerus Maulana Hasanuddin yang telah wafat salah satu misi beliau telah berhasil meruntuhkan kerajaan Pajajaran (Graaf dan Pigeaud; 1980: 152).  kerajaan Islam Banten sehingga saat itu Jawa Barat menjadi penyebaran agama Islam, termasuk Pontang sebagai pelabuhan yang di kuasai Pajajaran kemudian Maulana Yusuf membangun Masjid Kasunyatan dan bersamaan dengan itu menempatkan adiknya Maulana Muhammad Kemala Raja alias Arya Sunyaraja (1575-1590), membuat pemukiman dan Masjid di Pontang untuk tempat ibadah Sultan Maulana Yusuf, sekaligus tempat kontemplasi di perkampungan yang sekarang di sebut Singarajan yang suasananya masih sunyi dan sepi kala itu—maka tempat kontemplasi sultan ini yang menjaga Pangeran Muhammad Kemala Raja, kemudian lebih di kenal dengan Arya Sunyaraja. Pada masa ini Pontang belum kedatangan bangsa asing terutama dari Eropa, keadaannya penuh dengan kenyamanan sehingga ritualitas keislaman yang di bawa oleh Arya Sunyaraja begitu mengena bagi masyarakat Pontang, sehingga masjid yang dibangunnya benar-benar sebagai sebuah tempat satu-satunya di Pontang sebagai sarana ibadah, terutama sholat yang lima waktu.

Ada beberapa hal yang harus disampaikan berkaitan dengan sejarah Banten dan Pontang termasuk di dalamnya yang begitu panjang dan tentunya menyita perhatian khalayak pemerhati sejarah, terutama sejarah Banten. Dari zaman pra-sejarah hingga masuknya agama Islam ke daerah ini. Para arkeolog menyebut kebudayaan Hindu-Budha yang tercermin dalam sikap, prilaku dan pandangan hidup sebagai masa klasik. Peradaban ini dicatat sebagai berakhirnya zaman kegelapan dan dimulainya peradaban baca tulis.

Sejatinya masuknya agama Hindu-Budha ke Banten dimulai sebelum abad ke-5. Namun bukti-bukti sejarah berupa pembuktian artefak bulum didapat secara meyakinkan. Bukti daerah Banten telah memasuki masa sejarah diketahui ketika tahun 1947 ditemukannya batu bertulis di Munjul, Pandeglang.

Di dekat aliran Sungai Cidurian, yang sungainya bersambung sampai ke Pontang di jalan Bandung-Pamarayan, Kampung Patapan Desa Nagara Kabupaten Serang mendapatkan kesimpulan jika punden berundak tersebut adalah ada semenjak kekuasaan Pajajaran di Banten dengan adipatinya Pucuk Umun. Berdasarkan temuan punden berundak tersebut dapat diperoleh kesimpulan sejak Islam hadir di Banten, bahwa Pontang yang masuk wilayah Serang Utara terkena imbas kepercayaan Hindu-Buda, yang disinyalir jalur sungai yang bersambung ke Pontang bisa dijadikan sarana transportasi air, mengingat Pontang saat itu salah satu pelabuhan besar di Banten.

Ada taktik ekonomi yang dilakukan para pedagang Eropa, ketika posisi Banten dari hasil rempah-rempah menempati urutan kedua setelah Sunda Kelapa. Hal ini di respon oleh negara-negara yang berniat untuk menguasai Banten, sebut saja  Portugis sangat berhasrat menguasai Pelabuhan Pontang dan Sunda Kelapa, sebuah pelabuhan yang menjanjikan bagi perniagaan di wilyah Banten karena letaknya strategis, maka kerajaan Pajajaran sebagai kerajaan yang berkepentingan dengan Banten mulai  mengajak untuk bekerjasama. Disamping kerajaannya sudah rapuh baik dari pertahanan maupun ekonomi, untuk melangsungkan keberadaan Pajajaran untuk tetap eksis sebagai sebuah kerajaan Hindu yang besar, Kerajaan Pajajaran menganggap Portugis akan dapat membantunya dalam menghadapi orang Islam di Jawa Tengah yang telah mengambil alih kekuasaan dari tangan raja-raja bawahan Majapahit. Oleh karena itu, pada 1522 Raja Pajajaran resmi mengadakan perjanjian persahabatan dengan Portugis. Namun, sebelum Portugis sempat mengambil manfaat dari perjanjian dengan mendirikan pos perdagangan, pelabuhan Pontang dan Sunda Kelapa telah diduduki oleh orang-orang Islam.

            Penulis mencoba mengungkapkan berbagai hal yang bertalian dengan ekonomi wilayah Pontang, mengingat secara geografis Pontang di kelilingi sungai, apakah ada jalur perdagangan di sana karena pada masa kesultanan Banten, saat itu Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) yang telah dibuktikan banyak ditemukannya artefak, gelas porselen dari Cina, lemari kaca dari Jepang, Cermin dan Jam buatan Eropa, Sutra Denmark, bejana baja dari Inggris, Mutiara dari India, ditemukan di sekitar Sungai Ciujung dan Cidurian. Menurut catatan Tom Pires (1513) yang berkebangsaan Portugis. Menurutnya, di permulaan abad ke-16 Sunda Kelapa, atau yang ditulis Pires dengan istilah “Capala”, merupakan salah satu pelabuhan penting di antara bandar-bandar lain di wilayah sepanjang pantai barat Pulau Jawa. Pires mencatat, waktu itu kerajaan Hindu-Pejajaran ini, setidaknya memiliki enam buah bandar laut, yaitu: Bamtam (Banten), Pomdam (Pontang), Chegujde (Cigede), Tamgaram (Tanggerang), Capala (Kalapa), dan Chemano (Cimanuk).

            Lebih jauh, Pires melukiskan kota pelabuhan Sunda Kalapa ini sebagai pelabuhan utama, sangat megah dan paling baik di antara pelabuhan-pelabuhan lain dari kerajaan Hindu-Pajajaran. Dari catatan Pires juga diketahui bahwa bandar ini telah didatangi oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Sumatra, Kalimantan, Makasar, Jawa, Madura dan pedagang-pedagan asing dari Timur Tengah dan China. Masih menurut catatannya, bandar tua ini dikelola dengan baik oleh suatu pemerintahan lokal di bawah kekuasaan Syahbandar.

            Saat itu, Pontang dikenal sebagai bandar kerajaan Hindu Pajajaran dan merupakan pasar bagi hasil bumi berupa beras dan lada. Terkait lada, dikatakan Pires bandar ini bisa memasok kira-kira 1000 bahar dengan mutu lebih baik ketimbang lada dari Cochin.

        Catatan Tom Pires mengindikasikan kalau Pontang sebuah pelabuhan yang masuk dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran sebuah kerajaan Sunda. Keterangan juga dapat di peroleh dari sumber tertulis dari Pupuh 29 cerita Sejarah Banten, yang dituturkan oleh Sandimaya dan di catat oleh Sandisastra; tentang Pangeran Kerajaan Pajajaran datang ke Banten, ia diijinkan dan di beri tempat tinggal di Pontang (Titik Pudjiastuti : 2007 : 254). Pangeran Pajajaran yang bernama Prabu Saka Domas ini. kemudian menetap di Pontang sampai akhir hayatnya, dan makamnya ditemukan di Desa Domas

Jejak Bangunan Kolonial di Pontang

            Tahun 1596 ketika berakhirnya kesultanan Pangeran Muhammad, Sultan Banten ketiga setelah Maulana Yusuf Belanda datang ke Banten bersama armadanya yang terdiri dari empat buah kapal dengan tujuan mengambil rempah-rempah, kemudian lambat laun mendirikan kantor dagang dalam rangka mempertahankan posisi niaganya di Banten tahun 1604 dibangunlah sebuah kantor VOC, yang merupakan kantor VOC pertama di wilayah nusantara di bawah pimpinan Francois Wittert. Tujuan pendirian loji dagang ini ialah dalam rangka memonopoli dagang di Banten. namun karena ketegasan sultan Banten kantor dagang tersebut di pindah ke Jayakarta/Batavia tahun 1611 

        Tanggal 5 Januari 1808, Deandels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pertama, mengeluarkan surat keputusan bahwa Jayakarta menjadi pusat pemerintahan dengan nama Batavia. Keputusan tersebut membuat sistem pemerintahan yang berbeda dari sebelumnya, dan melahirkan kebijakan-kebijakan baru. Salah satunya adalah Daendels melakukan birokratisasi di kalangan pemerintahan tradisional dengan menjadikan para sultan dan bupati sebagai pegawai pemerintahan.

            Pada saat Raffles datang ke Pulau Jawa pada 1811, Kesultanan Banten pada saat itu dipimpin oleh Sultan Syafiuddin, dimana pusat pemerintahan berada di Keraton Kaibon. Raffles memaksa Sulta Syafiuddin untuk menyerahkan pemerintahan Banten dan status sultan diubah menjadi bupati sultan. Dengan demikian, berakhirlah eksistensi Kesultanan Banten. Seluruh wilayah Banten telah dikuasai oleh pemerintahan kolonial dan dijadikan sebagai sebuh keresidenan. Sultan menjadi aparat pemerintah dengan status sebagai bupati yang berada di bawah residen.

            Pada tahun 1846, Serang sudah mulai menjadi tempat yang ramai bagi orang-orang asing, sekitar 200 orang Eropa bermukim di Serang, begitupun Tionghoa, Arab, India dan beberapa bangsa Timur Asing lainnya. (Mufti Ali; 2014 ; 13), Pontang yang merupakan sebuah kewedanaan Bagian dari Serang, adalah termasuk daerah kolonial Belanda, sehingga menurut data penduduk Regentshap Serang tahun 1920, bisa di lihat dari tablel ini :

No

Distrik

Eropa

Timur Asing

Pribumi

1

Serang

233

1.206

77.009

2

Ciruas

10

73

63.149

3

Pontang

2

687

61.080

5

Total

245

1.966

201.238

Sumber: Mufti Ali; 2014:21

            Orang Eropa dalam tabel di atas adalah orang Belanda totok, campuran, dan orang Eropa totok dan orang Eropa campuran lainnya, dan Timur Asing lainnya itu adalah Arab, Bugis, Melayu, dan Mandar.sedangkan pribumi adalah (inlander) penduduk asli Banten.

        Berdasarkan  arsip-arsip colonial yang ada, dalam sejarah bangunan di Pontang tinggalan masa kolonial yang sampai saat ini masih berdiri adalah kantor Kewedanaan, satu-satunya peninggalan colonial yang masih ada, bangunan ini berubah fungsi menjadi gedung Puskesmas Pontang, dulu waktu Orde Baru (1990) ex-kewedanaan ini digunakan untuk even-even seni dan budaya ketika memperingati hari-hari bersejarah nasional dan arsitektur gedungnya belum berubah, sekarang ada sedikit perubahan. Kemudian da tangsi yang jaraknya tidak jauh dari kewedanaan yaitu di Kampung Begog Desa Singarajan, tempat tinggal bagi 10 orang personil militer, tempat untuk memenjarakan tokoh ulama Pontang KH. Zuhri ini berubah fungsi menjadi Polsek Pontang dengan arsitektur yang sudah berubah. Di samping kantor wedana juga terdapat sekolah desa atau Sekolah Rakyat (SR) yang ada semenjak tahun 1906 . Sekolah ini dibuat sebagai upaya untuk memberantas buta huruf. Berbeda dengan sekolah gubernemen yang ditanggung semua biaya pendirian dan subsidi operasional tahunannya oleh Pemerintah Kolonial, sekolah ini dibangun sebagian berdasarkan dana swadaya masyarakat. Pemerintah hanya memberi bantuan sebagiannya saja. Salah satu murid Sekolah Rakyat di Pontang yang mendapatkan subsidi adalah Kiayi Haji Mas Ahmad Sulaeman (orang tua dari Prof. Tihami). Murid-murid sekolah ini berasal dari kampung-kampung di sekeliling lokasi sekolah. Pelajaran yang diajarkan adalah membaca, menulis, dan berhitung. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa melayu, Jawa dan Sunda Banten. Tingkat pelajaran berhitung yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan praktis setempat). (Mufti Ali, 2022)

        Selain jembatan peninggalan colonial yang pernah ada di Pontang adalah kantor pos, yang letaknya di perempatan Desa Pontang dekat kantor desa Pontang, keberadaan kantor pos sudah ada semenjak kepemimpinan Cornelis de Houtman (1596) empat buah kapal Belanda disiapkan untuk membawa surat-surat bagi para raja Banten dan Batavia. Kemudian semenjak Sultan Ageng Tirtayasa pindah ke Pontang 1680 kantor pos sudah ada, karena Sultan sering mengirimkan surat pada penguasa-penguasa Eropa, diantaranya untuk Raja Charles II Inggris dan Raja Denmark (1680-1681) Pentingnya Pos saat itu, tapi sayang kantor pos di Pontang sudah raib dan berganti fungsi menjadi mini market, karena pada waktu itu tanah yang di peke untuk kantor adalah sewa dari warga.


Komentar

Postingan Populer