Goresan Pena_Jendela Rumah Hafsah
Jendela Rumah Hafsah
Itulah jendela rumah Hafsah binti Umar, istri Rasulullah SAW — satu-satunya jendela yang tetap terbuka selama lebih dari 1400 tahun, mengintip di antara kokohnya tembok Nabawi. Jendela itu bukan sekadar celah dari batu dan kayu, tapi saksi bisu dari cinta, kesetiaan, dan kerinduan yang tak pernah lapuk oleh waktu.
Dari balik jendela itu, Hafsah memandangi makam Rasulullah SAW, bukan dengan mata, tapi dengan hati yang tak pernah lelah menanti perjumpaan abadi. Dalam diamnya, dalam sunyinya malam-malam Madinah, ia duduk menghadap ke arah tempat bersemayamnya sang Kekasih Allah — meneteskan air mata, melafazkan doa, merajut kenangan dalam hening.
Hafsah, wanita yang memeluk wahyu dalam dekapannya, penjaga mushaf Al-Qur’an pertama, dan pewaris kesabaran dari ayahnya, Umar al-Khattab. Ia tidak sekadar istri Nabi, tapi bagian dari sejarah yang tak terhapus — namanya abadi dalam barisan wanita mulia.
Jendela itu menjadi simbol — bahwa cinta yang tulus tidak mengenal batas ruang dan waktu. Ia tetap terbuka, seolah menanti — bukan hanya Hafsah yang memandangi dari dalam, tetapi juga umat yang memandang dari luar, mengenang cinta suci yang tumbuh dalam rumah kenabian.
Dan hingga hari ini, jendela itu masih di sana, menjadi saksi bahwa di balik tembok Nabawi, pernah hidup seorang wanita yang seluruh hatinya telah ia serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak meminta dikenang, namun sejarah tidak mampu melupakannya.
Begitulah, jendela itu bukan sekadar arsitektur — ia adalah puisi diam, tertulis dalam cahaya subuh dan hembusan angin Madinah. Dan bagi siapa pun yang memandangnya, akan tahu: di sana, cinta sejati pernah menetap — dan tidak pernah benar-benar pergi.
Dari balik jendela itu, Hafsah memandangi makam Rasulullah SAW, bukan dengan mata, tapi dengan hati yang tak pernah lelah menanti perjumpaan abadi. Dalam diamnya, dalam sunyinya malam-malam Madinah, ia duduk menghadap ke arah tempat bersemayamnya sang Kekasih Allah — meneteskan air mata, melafazkan doa, merajut kenangan dalam hening.
Hafsah, wanita yang memeluk wahyu dalam dekapannya, penjaga mushaf Al-Qur’an pertama, dan pewaris kesabaran dari ayahnya, Umar al-Khattab. Ia tidak sekadar istri Nabi, tapi bagian dari sejarah yang tak terhapus — namanya abadi dalam barisan wanita mulia.
Jendela itu menjadi simbol — bahwa cinta yang tulus tidak mengenal batas ruang dan waktu. Ia tetap terbuka, seolah menanti — bukan hanya Hafsah yang memandangi dari dalam, tetapi juga umat yang memandang dari luar, mengenang cinta suci yang tumbuh dalam rumah kenabian.
Dan hingga hari ini, jendela itu masih di sana, menjadi saksi bahwa di balik tembok Nabawi, pernah hidup seorang wanita yang seluruh hatinya telah ia serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak meminta dikenang, namun sejarah tidak mampu melupakannya.
Begitulah, jendela itu bukan sekadar arsitektur — ia adalah puisi diam, tertulis dalam cahaya subuh dan hembusan angin Madinah. Dan bagi siapa pun yang memandangnya, akan tahu: di sana, cinta sejati pernah menetap — dan tidak pernah benar-benar pergi.
Komentar
Posting Komentar