Menikahi Nyai Sanimah_Kang Ubay

 

Menikahi Nyai Sanimah

Setelah hampir tiga tahun lamanya mondok di Cadasari, tahun 1900 M Haji Mustayapun kembali ke Pontang. Tentu kembalinya Haji Mustaya disambut hangat oleh penduduk, karena bagaimanapun juga mereka akan merasa terlindungi kembali dengan kehadiran Haji Mustaya. Bagaimana mereka merasa tidak terlindungi, karena Haji Mustaya adalah sosok pemimpin yang baik, mengayomi dan senang membela serta membantu segala kesusahan masyarakat. Haji Mustaya memang sosok pemimpin informal, yang memang status kemimpinnya karena keinginan dari masyarakat—masyarakatlah yang menginginkan Haji Mustaya menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin perang (politik).

Tiga tahun lamanya Haji Mustaya meninggalkan Pontang, dan selama itu pula ia mengarungi kehidupan rumah tangga. Baginya beristri dari satu adalah merupakan sunnah Rasul, dan merupakan perintah Allah sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an, Surat Annisa ayat; 3, “Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu untuk berlaku adil, maka nikahilah seorang saja.” Karena Haji Mustaya tahu dengan masalah agama dan kaidah-kaidah hukumnya, maka ia menjalankan sunnah Rasul, Setelah bercerai dengan istri pertamanya perempuan Cadasari, beliau menikah lagi dengan perempuan Cerenang, dan tidak ada riwayat yang menerangkan tentang pernikahannya dengan perempuan Carenang—apakah rumah tangganya langgeng atau tidak. Tapi, yang jelas setelah menikah dengan perempuan Carenang beberapa tahun kemudian, beliau menikah lagi dengan Nyai Sanimah perempuan Pontang. Dan Nyai Sanimah ini merupakan adik kandung dari Ki Darda, dan Ki Darda sendiri merupakan Bapak dari Abah Zuhri. Dari pernikahannya dengan perempuan Carenang, Kiayi Mustaya telah mendapatkan keturunan yakni, tiga orang anak perempuan, yang di beri nama Siti Muawanah, Khodijah dan Babay (Ibu Neh) —Dari Muawanah lahirlah Sutrawiyah yang kemudian di pinang oleh seorang Wedana Pontang, dari pernikahannya dengan Wedana Pontang telah memperoleh Putra yang bernama Dedi (Pak Dedi), dulu beliau adalah Kepala SD Inpress Singarajan. Sementara Khodijah keturunannya banyak tinggal di Keronjo.   

Kendatipun seandainya, perempuan Carenang itu masih menjadi  istri Haji Mustaya, tapi ia merupakan istri yang sholehah, istri yang benar-benar tahu bahwa sebuah perkawinan adalah amanah dari Allah. Maka ia-pun sangat taat akan kaidah-kaidah hukum agama, dan istri yang taat terhadap kaidah-kaidah hukum agama berarti ia juga harus taat dan mengabdi pada suami. Ketaatan pada Agama dan kepatuhan pada suami dibuktikannya, mempersilahkan suaminya untuk menikah lagi, asal pernikahannya yang ketiga didasari  untuk agama dan membawa kemaslahatan.

Nyi Sanimah adalah seorang janda dari Ki Anang (meninggal karena sakit), mempunyai anak perempuan satu yaitu; Mastubah (Bu gede, penulis biasa panggil). Akhir tahun 1910, Janda ditinggal mati ini dipersunting Haji Mustaya usianya 35 tahun, lebih tua usianya 2 tahun dari Haji Mustaya yang usianya (33 tahun). Dan Mastubah (Putri Nyi Sanimah) pada waktu itu sudah usia . (9 tahun). Kasih sayang Haji Mustaya kepada Mastubah seperti anak kandung sendiri, karena selain sebagai anak, Mastubah juga seorang yatim yang perlu dikasihi dan cintai.

Betapa gembiranya Nyai Sanimah, mempunyai suami taat beragama dan menyayangi anaknya. Begitu juga Mastubah merasa senang mempunyai Bapak seperti Haji Mustaya. Mereka berduapun di bawanya dari Singarajan, dan mulai menempati rumah Pontang bersama Haji Mustaya.

Mastubah yang masih butuh bimbingan dari seorang bapak itu, mulai diajari ilmu-ilmu agama. Setelah maghrib Mastubah diajari membaca al-Qur’an (alif, ba, ta, tsa sudah tidak lagi diajarkan) karena Mastubah sudah tahu. Yang diajarkan bagaimana Mastubah cepat lancar membaca al-Qur’an dan meluruskan tajwidnya yang kadang-kadang masih salah. Selain baca Qur’an, Mastubah juga diberi pendidikan tentang rukun Shalat, puasa, zakat, dan naik haji. Mastubah merasa senang mendapatkan pendidikan dari bapaknya, karena di zaman Belanda untuk mendapatkan pendidikan amat sukar. Untuk mendapatkan pendidikan formal seperti sekolah yang didirikan pemerintah Belanda seperti Hollands Inlandse School (HIS) (sekolah rakyat), amat sukar bagi Mastubah. Karena sekolah itu diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan orang-orang Hindia Belanda (Pribumi) berketurunan ningrat, seperti anak Residen, regent, dan demang. Sedangkan Mastubah hanya seorang anak desa tidak punya keturunan pejabat, malah keluarga Mastubah (Haji Mustaya) menentang kebijakan Belanda.

Tidak hanya Mastubah yang tidak bisa mengikuti pendidikan formal, anak-anak lain di Pontang seusia Mastubah juga tidak bisa mengikuti pendidikan formal. Termasuk bapaknya Haji Mustaya juga tidak bisa mengikuti pendidikan formal. Efeknya masih terasa sampai sekarang, adalah orang-orang tua kita sampai saat ini tidak bisa baca tulis huruf latin. Orang-orang tua kita justru senang dengan tulisan-tulisan huruf Arab yang dilatinkan. Akibat ketatnya masa pemerintahan Belanda saat itu, orang-orang tua kita pasca kemerdekaanpun malas menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah resmi. Dan efeknya orang-orang tua kita di Pontang 80 persen tidak bisa baca tulisan huruf latin. Termasuk ibu penulis juga kerepotan untuk baca tulis huruf latin. Sebegitu besarkah kekuatan bangsa eropah (Belanda) menjalankan kekuasaannya di Pontang, sehingga sisa-sisa penjajahannya masih terasa sampai sekarang..?

Dua tahun sudah usia pernikahan Haji Mustaya dan Sanimah, dan tahun 1912 merekapun telah dikaruniai seorang bayi laki-laki yang mungil dan sehat—bayi itu diberi nama “Mahfud” (Kakek penulis). Kemudian setelah Mahfud, mereka dikaruniai anak perempuan yaitu “Murtafi’ah” (Ibunya Mang Suja’i). Mastubah sangat gembira, karena ia telah mendapatkan adik. Mastubah sangat menyangi Murtafi’ah dan juga menyayangi Mahfud. Begitu juga dengan kelahiran Syubli (Yayi Beli) dan Mabsuti (Yayi Mab). Mereka berlima sangat rukun, saling mengasihi dan menyayangi.

Pernikahan mereka memang telah mendapatkan empat anak, Mahfud, Murtafi’ah, Syubli dan Mabsuti. Dari keempat putra-putri tersebut telah menghasilkan keturunan masing-masing, sampai sekarang keturunan-keturunan mereka masih saling silaturrahmi. Ada yang tinggal di Lampung, seperti sebagian putra-putri Yai Mab, dan penulis sering berjumpa dengan mereka yang di Lampung. Dan yang lain masih tinggal di Pontang, Singarajan, Cilegon, dan di florida (merak) juga ada. Dan Mastubah (ibu gede) saja yang tidak mempunyai keturunan, ibu gede pernah menikah dengan orang singarajan, tidak lama dari pernikahannya kemudian suaminya wafat. Dari pernikahan mereka tidak menghasilkan keturunan. Mastubah tidak berniat untuk menikah lagi. Kesetiaan kepada mendiang suaminya harus ditebus dengan menjanda sampai ajal menjemput raganya. Terhadap keadaan itu bapaknya Haji Mustaya pernah menjodoh-jodohkan, namun Mastubah tetap tidak mau. Mastubah tetap pilih menebus kesetiaannya dengan tetap hidup sendiri dengan harapan, kelak manakala pintu gerbang kematian dibukakan untuknya, ia akan bertemu kembali dan hidup bersama di alam abadi.

(Ubay Haki)

Komentar

Postingan Populer