Keris Siger Pepadon Hadiah Sultan Banten_Kang Ubay
Keris Siger Pepadon Hadiah Sultan Banten
Oleh Ubay Haki
Dosen Universitas Bina Bangsa
![]()
Kekuasaan Kesultanan Banten di Lampung bermula dari situasi politik yang tidak stabil di dalam masyarakat Lampung sendiri. Pada saat pemerintahan Tulang Bawang runtuh, wilayah tersebut tidak memiliki kekuatan politik yang mampu mengendalikan seluruh kawasan. Ketidakpastian ini menyebabkan perubahan besar dalam struktur pemerintahan, yang akhirnya menjadi sistem pemerintahan penuh, dengan wilayah-wilayah dibagi berdasarkan hukum adat yang berlaku pada waktu itu.
Sekitar tahun 1530, Lampung terbagi menjadi beberapa kecamatan, masing-masing dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki pengaruh besar. Salah satunya adalah Keratuan di Puncak, yang menguasai wilayah Abung dan Tulang Bawang. Di sisi lain, Gereja menguasai daerah-daerah seperti Krui, Ranau, dan Komering. Sementara itu, Pugung Keratuan memiliki pengaruh besar di wilayah Pugung dan Pubian, serta sejumlah kelompok Keratuan lainnya yang berada di bawah kekuasaan Balaw dan Teluk Betung. Pembagian wilayah ini menunjukkan adanya fragmentasi kekuasaan yang kuat antar berbagai kelompok lokal di Lampung.
Namun, kondisi ini berubah drastis ketika Kesultanan Banten mulai menguasai Lampung. Pengaruh Banten meluas, dan Keratuan di Pugung pun terbagi antara dua kekuasaan besar. Keraton Maringgai, yang terletak di Melinting, dan Keratuan Putih yang menguasai daerah Kalianda, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang saling bersaing. Dengan adanya pengaruh Banten yang semakin kuat, struktur pemerintahan di Lampung menjadi semakin terorganisir di bawah pengaruh Kesultanan Banten, yang memperluas wilayah dan pengaruhnya di kawasan Sumatra bagian selatan.
Proses ini menunjukkan bagaimana Kesultanan Banten berhasil menempatkan dirinya sebagai kekuatan politik dominan di Lampung, memanfaatkan ketidakstabilan internal dan struktur kekuasaan lokal yang terfragmentasi untuk memperluas pengaruh dan kontrolnya.
Kedatangan Banten ke Lampung dimulai pada abad ke-16, di mana akses antara kedua wilayah ini terbilang mudah dan membuka peluang bagi hubungan politik dan ekonomi. Pada masa itu, Lampung masih memiliki sistem pemerintahan yang didasarkan pada hukum adat, yang terbagi menjadi beberapa Keratuan yang menguasai berbagai daerah. Di antaranya adalah Keratuan di Kabupaten Puncak, Abung, dan Tulang Bawang, serta Keratuan yang menguasai wilayah Krui, Ranau, dan Komering, beserta berbagai Keratuan lainnya yang tersebar di seluruh Lampung.
Namun, ketika Banten mulai datang ke Lampung, tidak ada tanda-tanda kuat dari penguasa setempat bahwa mereka menentang atau merasa terancam oleh kedatangan tersebut. Sebaliknya, Kesultanan Banten bahkan mendapat izin dari penguasa lokal untuk mengembangkan pengaruhnya di wilayah Lampung. Situasi ini mencerminkan adanya ketidakstabilan internal atau mungkin juga ketidaksiapan dari pihak Lampung untuk menanggapi perubahan besar yang akan datang.
Dengan kedatangan Banten, pembagian kekuasaan di Lampung mengalami transformasi besar. Kesultanan Banten tidak langsung menguasai seluruh wilayah, tetapi mereka menempatkan seorang Djijen, yang dapat dianggap sebagai perwakilan atau menteri yang bertugas mengawasi daerah tersebut. Djijen ini memiliki tanggung jawab untuk memimpin dan mengelola urusan pemerintahan di wilayah Lampung, serta melapor secara berkala kepada Kesultanan Banten. Melalui sistem ini, Banten berhasil memperluas pengaruhnya dengan cara yang lebih terstruktur, meskipun tidak langsung mengambil alih seluruh kekuasaan yang ada di Lampung.
Perjanjian semacam ini menciptakan suatu hubungan saling menguntungkan antara Kesultanan Banten dan penguasa Lampung, yang memungkinkan Banten untuk memperkuat kedudukannya sebagai kekuatan dominan di wilayah tersebut tanpa harus menghadapi perlawanan besar. Dengan demikian, hubungan politik antara Banten dan Lampung menjadi semakin erat, membuka jalan bagi kontrol Banten atas wilayah tersebut dalam jangka panjang.
Maulana Hasanuddin, Sultan pertama Banten, dikenal tidak hanya sebagai pemimpin yang berwibawa, tetapi juga sebagai sosok yang berperan besar dalam penyebaran Islam di berbagai wilayah. Salah satu perjalanannya yang terkenal adalah ekspedisi menuju Lampung, Indrapura, Solebar, dan Bengkulu. Dalam tradisi masyarakat Abung, disebutkan bahwa Menak Paduka dan Menak Kemala Bumi pernah datang ke Banten untuk menyatakan pengakuan terhadap kekuasaan Banten atas wilayah Tulang Bawang. Sebagai balasan atas penghormatan tersebut, Sultan Hasanuddin memberikan gelar Patih Jarumbang kepada Menak Paduka dan gelar Patih Prajurit kepada Menak Kemala Bumi. Keputusan ini bukan hanya sebuah pengakuan politik, tetapi juga sebuah langkah besar dalam mempererat hubungan antara Banten dan wilayah Lampung.
Begitupun Sultan Hasanuddin memberikan beberapa penghargaan kepada keturunan Keratun Lampung yang berjasa pada Kesultanan Banten, diantaranya adalah Minak Sangaji yang ditawarkan posisi Adipati atau Raja di beberapa wilayah bawahan Kesultanan Banten. Depati Minak Sangaji akhirnya menghabiskan masa hidupnya dengan memilih wilayah Anyer bersama dengan empat puluh Sekuren atau empat puluh Kepala Keluarga, kampung tersebut bernama Cikoneng yang dulu di pimpin oleh seorang Adipati.
Adu Tanding Kesatria Banten dan Kesatria Lampung
Dalam cerita Dalung Kuripan, diceritakan tentang hubungan kekerabatan yang unik antara Sultan Maulana Hasanuddin Banten (SMHB) dan Haji Muhammad Zaka Waliyullah, yang dikenal juga dengan nama Ratu Darah Putih. Keduanya memiliki ikatan darah yang kuat meski terpisah oleh jarak waktu kelahiran. Ratu Darah Putih, yang merupakan anak tiri dari saudara tiri Sultan Hasanuddin, memiliki ayah yang sama, yaitu Syarif Hidayatullah, namun mereka berbeda ibu. Sultan Hasanuddin lahir terlebih dahulu, sedangkan Ratu Darah Putih baru lahir setelah Syarif Hidayatullah menikah dengan adik Sultan Trenggana dari Demak.
Ketika Ratu Darah Putih masih muda, Syarif Hidayatullah mengunjungi Lampung dan dengan penuh kasih sayang mengungkapkan kepada putranya bahwa mereka memiliki ikatan keluarga yang erat, yakni sama-sama anak dari Syarif Hidayatullah. Namun, untuk menguji dan membuktikan siapa yang lebih tua di antara mereka, sebuah ujian berat pun disiapkan. Untuk menentukan siapa yang lebih tua dan siapa yang lebih muda, harus dilakukan adu tanding antara dua ksatria: satu dari Kesultanan Banten yang mewakili Sultan Hasanuddin, dan satu lagi dari Penguasa Lampung yang mewakili Ratu Darah Putih.
Dalam adu tanding yang penuh adrenalin ini, kesatria dari Lampung yang kalah dan mati terlebih dahulu dianggap sebagai saudara yang lebih muda, sementara yang menang dan bertahan hidup dianggap sebagai saudara yang lebih tua. Dalam pertempuran tersebut, ksatria dari Penguasa Lampung jatuh dan mati terlebih dahulu, sementara ksatria dari Kesultanan Banten berhasil bertahan, menunjukkan bahwa Sultan Hasanuddin adalah saudara yang lebih tua.
Perjanjian ini, yang dikenal sebagai Dalung Kahuripan, menjadi simbol pengakuan dan penyatuan antara kedua belah pihak, memperkuat ikatan keluarga dan sejarah yang menghubungkan Kesultanan Banten dengan Lampung. Dari cerita ini, terlihat jelas bagaimana tradisi dan simbolisme dalam budaya mereka mengikat tali kekerabatan yang tidak hanya melibatkan darah, tetapi juga pengujian kehormatan dan keberanian.
Hadiah Siger Pepadon dari Sultan Untuk Lampung
Pada tahun 1662, Raja Ageng Tirtayasa mengeluarkan sebuah perintah yang mewajibkan para penguasa dan rakyat Lampung untuk tunduk kepada Banten. Perintah ini menjadi dasar bagi Banten untuk memperkuat kepentingannya di Lampung, memperkokoh pengaruhnya, dan mengontrol wilayah tersebut. Melalui kebijakan ini, Banten mulai memaksakan sistem yang menguntungkan bagi kepentingan ekonominya, memperkenalkan peraturan yang mendalam dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya lada, di Lampung (Nurhakim dan Fadillah, 1990).
Sebelum kedatangan Belanda di Indonesia, Banten sudah menerapkan kebijakan yang serupa dengan sistem Culturstelsel yang diterapkan Belanda beberapa dekade kemudian. Salah satu kebijakan utama Banten adalah sistem tanam paksa lada di perkebunan Lampung. Setiap keluarga yang memiliki lahan perkebunan diwajibkan menanam 500 pohon lada. Hasil panen lada kemudian dikumpulkan dan dijual melalui Jenang (perantara), yang akan menyerahkan hasilnya kepada Djejen, seorang pejabat yang bertugas mengawasi dan melaporkan kepada Kesultanan Banten.
Sistem ini memberikan dampak besar bagi ekonomi Lampung. Lada yang berasal dari wilayah ini segera dikenal di berbagai daerah karena kualitasnya yang sangat tinggi dan tidak diragukan lagi. Lada Lampung, yang telah terbukti unggul, mendapatkan tempat istimewa di pasar-pasar dagang, dengan harga jual yang menguntungkan. Dengan sistem yang terorganisir ini, Banten berhasil memanfaatkan sumber daya alam Lampung untuk mendapatkan keuntungan besar, sekaligus memperkuat pengaruhnya di wilayah tersebut. Kebijakan tersebut bukan hanya memperkaya Kesultanan Banten, tetapi juga membantu menumbuhkan citra lada Lampung sebagai komoditas yang bernilai tinggi di pasar internasional.
Keputusan masyarakat Lampung untuk menerima kekuasaan Sultan Banten pada masa itu tidak terlepas dari berbagai faktor, salah satunya adalah adanya persaingan antar marga di Lampung yang saling berebut pengaruh dan dukungan dari kekuatan yang lebih besar. Persaingan ini mengarah pada pencarian perlindungan dan pengakuan dari penguasa yang memiliki kekuatan tinggi, yaitu Kesultanan Banten. Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan dukungan tersebut adalah melalui tradisi Seba, sebuah perjalanan ke Kesultanan Banten yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin marga di Lampung.
Seba merupakan tradisi di mana penguasa atau tokoh dari Lampung melakukan perjalanan jauh ke Banten untuk mendapatkan pengakuan resmi dari Sultan Banten. Pengakuan ini biasanya berupa pemberian gelar, seperti punggawa, pangeran, ngabehi, jenang, dan radin, yang menjadi simbol status dan kekuatan politik. Selain gelar, Sultan Banten juga memberikan hadiah-hadiah berharga sebagai tanda kehormatan, seperti lawing kuri (sejenis barang perhiasan), paying, keris siger pepadon, dan barang-barang lainnya. Pemberian hadiah-hadiah ini semakin mengukuhkan posisi dan otoritas mereka sebagai bagian dari kekuasaan Banten. (Nurlidianti, Siregar, dan Purnomo, 2023)
Selain faktor internal persaingan antar marga, kondisi politik dan ekonomi juga memengaruhi keputusan masyarakat Lampung untuk tunduk pada Kesultanan Banten. Salah satu faktor penting adalah jatuhnya Pelabuhan Malaka ke tangan Portugis. Setelah itu, kapal-kapal dari berbagai wilayah mulai memilih Banten sebagai pelabuhan yang lebih aman untuk berlabuh, menghindari ancaman dari Portugis yang menguasai Malaka. Banten menjadi jalur utama perdagangan yang strategis, terutama di Pelabuhan Karangantu, yang ramai dikunjungi oleh pedagang dari berbagai daerah.
Keamanan dan peluang ekonomi yang ditawarkan oleh Banten, ditambah dengan kebutuhan untuk melindungi diri dari ancaman luar, semakin membuat seluruh marga di Lampung berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian dari Sultan Banten. Perlindungan yang diberikan oleh Kesultanan Banten menjadi daya tarik utama bagi masyarakat Lampung, yang merasa bahwa dengan mendekatkan diri pada Banten, mereka dapat memperoleh kekuatan politik dan keamanan yang lebih baik dalam menghadapi ancaman, baik dari luar maupun dari persaingan internal.
Sebagai imbalan atas pengakuan dan kesetiaan yang diberikan oleh masyarakat Lampung, Sultan Banten mengeluarkan sebuah piagam yang berisi peraturan penting bagi warga Lampung. Piagam tersebut mengharuskan masyarakat Lampung untuk menanam pohon lada di perkebunan mereka dan menyerahkan hasil panen kepada Banten. Selain itu, mereka juga diwajibkan untuk mematuhi berbagai mandat yang dikeluarkan oleh Kesultanan Banten.
Keputusan ini diterima tanpa perlawanan dari masyarakat Lampung. Bahkan, tidak ada satupun yang berani melakukan pemberontakan atau tindakan yang bisa menggugat kekuasaan Banten. Hal ini disebabkan karena masyarakat Lampung merasa bahwa Banten memahami aspirasi mereka, yakni keinginan untuk hidup damai dan mendapatkan pengakuan atas keberadaan marga mereka. Dalam situasi tersebut, masyarakat Lampung merasa bahwa kedekatan dengan Banten memberikan perlindungan dan stabilitas yang mereka butuhkan, sementara Banten juga memperoleh keuntungan dari hasil perkebunan lada yang dikelola oleh masyarakat Lampung.
Hubungan yang terjalin antara Lampung dan Kesultanan Banten pun menjadi semakin kuat. Kedua pihak saling menghormati kepentingan dan kebutuhan satu sama lain, sehingga tercipta hubungan yang harmonis. Masyarakat Lampung merasa dihargai dan terlindungi, sementara Kesultanan Banten mendapatkan sumber daya alam yang menguntungkan, terutama lada, yang menjadi komoditas penting pada waktu itu.
DAFTAR BACAAN
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang (BP3S), Ragam Pusaka Budaya Banten, 2005
Djajadingrat, R. Hoesein, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten; Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa, Djambatan, Jakarta, 1983
Pujiastuti, Titik, Perang Dagang, Persahabatan, Surat-surat Sultan Banten, Buku Obor, Jakarta, 2007
Nurlidianti, dkk, (2023) Jalur Perdagangan Lada Sebagai Tiang Ekonomi Daerah Kemaritiman Pada Kesultanan Banten, KRINOK Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah FKIP, E ISSN: 2808-9111 Universitas Jambi Vol. 2 No. 1, 33-41.
Ongkodarma Untoro, Heriyanti, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684-Kajian-Kajian Ekonomi, Komunitas Bambu (UI), 2007
Ubay Haki, dkk, Dari Surosowan ke Istana Tirtayasa: Sebuah Napak Tilas Sultan Ageng, Rumah Cemerlang Indonesia, Tasikmalaya, 2022.
Sukses selalu pak
BalasHapusKeren... sukses untuk Bpk,
BalasHapusLanjutkan.