Kisah_Kang Ubay
Arya Sunyaraja dan Sunyi yang Menjadi Saksi
Kala malam masih jujur menyimpan bintang, dan laut belum bercermin pada cahaya obor perniagaan Eropa, Pontang berdiri dalam sunyi yang sakral. Di antara desir angin dan desir sungai yang bersambung ke Cidurian, suara azan pertama berkumandang di tanah pelabuhan. Adalah Sultan Maulana Yusuf, pewaris kejayaan Maulana Hasanuddin, yang datang membawa cahaya Islam ke bumi Pajajaran yang kian merapuh.
Sebuah langkah besar telah tercetak: Pajajaran tumbang. Dan di atas reruntuhan itu, bukan hanya kekuasaan yang dibangun, melainkan juga peradaban baru. Sebuah masjid didirikan di Kasunyatan, dan di sisi timurnya, adik Sultan sendiri, Maulana Muhammad Kemala Raja, diutus menyejukkan Pontang. Maka sejak saat itu, namanya masyhur sebagai Arya Sunyaraja—penjaga sunyi, penjaga masjid, penjaga jiwa-jiwa yang mendamba cahaya di tengah keheningan Singarajan yang dahulu belum bernama.
Di bawah naungan sunyi, Arya Sunyaraja tak hanya menanam batu-batu masjid, tetapi juga menanam iman. Ia membangun pemukiman di tanah pelabuhan yang belum disentuh jejak sepatu bangsa asing. Di tempat itu, Islam tak hanya diajarkan, tetapi diresapi. Lima waktu salat menjadi denyut kehidupan. Masjid menjadi satu-satunya rumah ibadah, dan di dalamnya, suara takbir menggema seperti desir angin yang menari di atas air.
Namun jauh sebelum adzan menggema, sejarah Banten telah ditulis oleh batu-batu tua dan aliran sungai. Sejak masa klasik, ketika Hindu dan Buddha menjadi nadi masyarakat, punden berundak dibangun di atas tanah yang kini disebut Nagara. Dari kampung Patapan ke sungai yang mengalir ke Pontang, jejak peradaban tua mengendap di dasar tanah dan memanggil para arkeolog untuk membaca kisahnya. Di sanalah Pajajaran membangun pijakannya, di bawah bayang Pucuk Umun, memerintah Banten sebelum Islam menyinari langitnya.
Pontang bukan pelabuhan sepi. Ia pelabuhan penghubung dunia. Ia saksi ketika rempah-rempah menjadi kekayaan yang diperebutkan bangsa. Portugis datang dengan rakus, membawa perjanjian, membangun niat untuk menguasai Pontang dan Sunda Kalapa. Tapi Islam telah lebih dulu menancapkan benderanya di dermaga. Pelabuhan yang dahulu hendak didirikan menjadi pos dagang Portugis, kini telah menjadi milik orang-orang yang membawa cahaya keimanan.
Dalam masa keemasan Kesultanan Banten, terutama ketika Sultan Ageng Tirtayasa memerintah, sungai-sungai di Pontang membawa lebih dari sekadar air. Mereka membawa porselen dari Cina, lemari kaca dari Jepang, jam dari Eropa, dan mutiara dari India. Di sisi sungai Ciujung dan Cidurian, jejak perdagangan dan diplomasi mengalir bersama air, menyatu dalam denyut kehidupan masyarakatnya.
Tom Pires, seorang Portugis yang matanya menatap dengan kagum, mencatat Pontang sebagai “Pomdam,” satu dari enam bandar utama Pajajaran. Sebuah pelabuhan tempat beras dan lada bertukar tangan, dari para pedagang Malaka, Sumatra, hingga Arab dan Tiongkok. Lada Pontang, katanya, lebih harum dan lebih kuat dari lada Cochin—sebuah kebanggaan yang tak hanya tumbuh di tanah, tetapi juga di hati.
Namun sejarah tak hanya tertulis dalam catatan asing. Dalam naskah tua Pupuh 29, diceritakan seorang pangeran dari Pajajaran, Prabu Saka Domas, yang memilih Pontang sebagai peristirahatan terakhir. Ia tak hanya datang, tapi tinggal. Ia tak hanya menetap, tetapi menyatu dengan tanah. Makamnya masih dijaga di Desa Domas—sebuah tanda bahwa Pontang tak pernah menolak siapa pun yang datang dengan damai.
Begitulah, Pontang adalah buku tua yang tiap lembarnya menyimpan kisah. Dari Hindu ke Islam, dari sunyi ke gemuruh pasar, dari Arya Sunyaraja ke Prabu Saka Domas. Di sanalah sejarah bukan hanya diingat, tetapi dihidupi. Dalam doa, dalam dagang, dalam aliran air yang tak pernah berhenti berjalan.(ubay)
Komentar
Posting Komentar